Perang yang memakan waktu bertahun-tahun, dan menelan begitu banyak korban, dan tak akan bisa terhitung berapa banyak kerugian yang ditanggung, berakhir dengan kemenangan Silla. Angan para pendahulu, yang menginginkan bersatunya tiga kerajaan menjadi satu kesatuan mungkin benar terwujud seperti apa yang dirasakan setiap orang. Walaupun hal itu bisa tercapai, setelah pedang yang tak pernah lagi ia pisahkan dari sarungnya itu sudah banyak mengambil nyawa begitu banyak manusia, yang entah bersalah atau tidaknya itu, ia merasa kata 'bersatu' yang ditekankan kini, adalah salah.
Yang bisa pria itu lakukan untuk menebus dosa besarnya, hanyalah berhenti dan meninggalkan masa lalu, pergi dan menyendiri di suatu tempat yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota, yang mungkin sedang berbahagia ria merayakan apa yang telah dicapainya. Semenjak itu, pedang menjadi asing baginya, karena tangan yang dulunya dapat mengayunkan 'batang besi' itu dalam sekali ayunan dan dapat mencabut banyak nyawa, kini lemah dan rapuh.
Perang itu menyisakan banyak luka ditubuhnya, termasuk membuatnya harus kehilangan sebelah kakinya. Meneguk sakitnya hidup di penghujung, di usianya yang masih muda namun digerogoti oleh penyakit kini. Ia hanya bisa duduk, berjalan dengan bantuan kayu yang menyangga tubuhnya atau bahu orang lain yang senantiasa membantunya, berada di sisinya dan mengisi kekosongan hatinya. Orang itu menjadi satu-satunya orang yang menemaninya hidup di sebuah rumah yang jauh, agar orang lain tak pernah lagi menanyakan keberadaan dirinya.
Rumah yang memiliki pelataran yang cukup luas itu merupakan rumah bekas peninggalan ayahnya yang dulu hanya digunakan sebagai tempat beristirahat ketika berkunjung di daerah di sekitar tempat itu. Nyaman memang, dengan rumput yang terhampar di setiap bagian halaman dan sebuah pohon tua tanpa daun yang berdiri tegak di salah satu bagian. Danau yang menggenang dan sungai yang mengalir di dekat sana, serta udara sejuk karena seringnya hujan yang turun. Baginya hal inilah yang membuat ia tak pernah merasa bosan.
Seorang wanita yang telah hidup bersamanya, semenjak perang pertama hingga akhir dan tetap setia menunggunya hingga detik itu, tak pernah sedikitpun meninggalkannya sendiri. Sama seperti saat itu. Ia masih duduk menatap wajah di depannya. Wajah tampan yang tak pernah hilang, segurat wajah tegas masih membayang disana.
Orang yang dilihatnya, masih duduk menatap ke arah jendela yang basah dialiri air hujan yang menyapu daerah itu. Ia paham, bagaimana pria itu. Yang ia tahu dan inginkan sekarang adalah tetap bersamanya. Menjadi bulan yang selalu mengelilingi bumi.
"Won-ah. Kau belum makan. Aku pergi ke dapur dulu, kau harus makan, ne?"
"Tak perlu, Soo. tetaplah disini. Aku, ingin berbicara denganmu." Perempuan itu kembali duduk ketika suara itu meluncur dari pria yang kini menatapnya lekat.
Mereka kembali diam, kembali seperti beberapa menit yang lalu.
"Soo. Apabila, sesuatu terjadi padaku, apa yang akan kau lakukan? Kau, akan kemana?" Pria itu masih konsisten menatap ke luar dengan intonasi yang datar.
"Jangan berkata seperti itu." perempuan itu mengatakannya dengan cepat, dengan nada cemas.
"Aku, hanya ingin tahu."
Perempuan itu kembali menenangkan dirinya, ia menarik nafas panjang. "Aku tak akan kemana-mana. Apapun yang terjadi padamu, aku akan tetap ada di sampingmu, Won."
Pria itu menoleh ke arahnya, ia menatap dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan pucatnya dan apa yang ia derita.
"Jika aku... kembalillah kepada orang tuamu Soo, dan aku akan merasa tenang nanti."
"Sudah ku bilang, aku akan tetap bersamamu, walaupun berkali-kali menghadapi situasi yang lebih berat dari ini, aku..." Perempuan itu kini memandang ke arah lain. Ia seakan ingin menangis, membendung air matanya agar tak membasahi pipinya yang belum sediktpun menunjukkan garis menua.
"Hentikan Won, jangan membuat hal ini tampak menyedihkan." Sebulir air jatuh. Ia menyeka dengan tangannya.
Pria itu kembali memindahkan pandangannya ke luar. "Mianhae, aku tak bermaksud membuatmu menangis." Lagi, suara pria itu berhasil membuat Sooyoung kembali memusatkan pikirannya. Baginya, apapun yang dikatakan pria itu adalah makna.
"Tubuh yang lemah ini, tak akan berguna lagi bagi Silla. Aku memilih menghindar, walaupun raja tetap bersikeras memberikan kehidupan dan pengobatan yang layak bagiku. Aku tak mampu, Soo. Aku bahkan tak berani lagi menatap langsung ke arah matahari."
Siwon kembali diam, ia menatap ke arah Sooyoung lagi, kembali dengan tatapan redup. "Kemarilah, Soo." Siwon mengulurkan tangannya ke arah Sooyoung. Tangan yang terasa dingin itu, kini saling menggenggam dengan tangan yang lembut dan hangat.
Sooyoung merebahkan lututnya ke lantai, bersandar di depan dada, yang masih terasa kuat. Siwon melingkarkan tangannya di punggung perempuan itu. Ia memejamkan matanya perlahan.
"Aku mencintaimu, Soo. Selamanya akan tetap seperti itu."